09 Desember 2024

admin

Sintang

Sejarah Kota Sintang

Pada masa pemerintahan Belanda (sekitar tahun 1936), daerah Sintang merupakan daerah lanschop di bawah naungan pemerintahan gouvernement. Daerah lanschop ini terbagi menjadi 4 (empat) onderafdeling yang dipimpin oleh seorang controleur atau gesagkekber, yaitu:

1. Onderafdeling Sintang berkedudukan di Sintang;
2. Onderafdeling Melawi berkedudukan di Nanga Pinoh;
3. Onderafdeling Semitau berkedudukan di Semitau; dan
4. Onderafdeling Boven Kapuas berkedudukan di Putussibau.

Sedangkan daerah Kerajan Sintang yang didirikan oleh Demang Irawan (Jubair I) dijadikan daerah swapraja Sintang dan kerajaan Tanah Pinoh dijadikan neo swapraja Tanah Pinoh. Pemerintahan lanschop ini berakhir pada tahun 1942 dan kemudian tampuk pemerintahan diambil alih oleh Jepang.

Pada masa pemerintahan Jepang, struktur pemerintahan yang berlaku tidak mengalami perubahan, hanya sebutan wilayah kepala pemerintahan yang disesuaikan dengan bahasa negara yang memerintah kala itu. Kepala Negara disebut Kenkarikan (semacam bupati sekarang) sedangkan wakilnya disebut dengan Bunkenkarikan dan di setiap kecamatan diangkat Gunco (Kepala Daerah).

Setelah adanya pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda kepada pihak Indonesia, kekuasaan pemerintahan Belanda yang disebut Afdeling Sintang diganti dengan Kabupaten Sintang, Onderafdeling diganti dengan Kawedanan, Distric diganti dengan Kecamatan. Demikian pula halnya dengan jabatan Residen dengan Bupati, kepala Distric diganti dengan Camat dan yang menjadi Bupati Sintang pada waktu itu adalah Raden Gondowirio.

Lokasi awal Kerajaan Sintang diperkirakan terletak di Desa Tebelian Nanga Sepauk yang terletak sekitar 50 Km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah, antara lain ditemukan Batu Lingga yang begambar Mahadewa dan arca Nandi (masyarakat menyebutnya dengan batu kalbut atau batu babi) di Dusun Batu Belian Desa Tanjung Riah,

Kecamatan Sepauk. Tidak jauh dari lokasi batu lingga tersebut, terdapat Makam Aji Melayu, tokoh yang diperkirakan merupakan nenek moyang raja–raja atau sultan–sultan di Kesultanan Sintang.


Nama “Kerajaan Sintang” mulai dikenal setelah Abad ke XIII, Demong Irawan (Jubair Irawan 1) memindahkan pusat kerajaan ke daerah bernama “Senentang” yang terletak di pertemuan antara Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Nama “Senentang” ini lambat laun dikenal dengan sebutan Sintang. Luas wilayah Kerajaan Sintang pada masa pemerintahan Demong Irawan mencakup Kecamatan Sepauk dan Kecamatan Tempunak.

Kerajaan Sintang mengalami perubahan menjadi kerajaan bernuansa Islam sejak pemerintahan Sri Paduka Tuanku Sultan Nata Muhammad Syamsudin Sa’adul Khairi Waddin. Beliau merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar Sultan. Pada masa pemerintahannya terdapat beberapa keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan, yaitu:

• Ditetapkan Sintang sebagai Kesultanan Islam;
• Pemimpin Kesultanan SIntang bergelar Sultan;
• Disusunnya Undang–Undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal;
• Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah; dan
• Dibangunnya istana kesultanan.

Pada bulan Juli 1822 dimasa pemerintahan Sultan Sri Paduka Tuanku Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qomaruddin terjadi kontak/hubungan resmi Kesultanan Sintang dengan bangsa Belanda. Kontak tersebut diawali dengan datangnya rombongan asal Belanda yang pertama di bawah pimpinan Mr. J.H. Tobias, seorang komisaris dari Kurt van Borneo. Untuk melakukan perdagangan dengan kesultanan Sintang.

Pada bulan November tahun 1822 Sultan Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Sultan Sri Paduka Tuanku Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan dari Belanda yang kedua di bawah pimpinan Dj. van Dougen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie sebagai juru bicara. Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerjasama dagang yang tertuang dalam Voorloping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. Setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (tahun 1823, 1832, 1847, 1855). Melalui perjanjian-perjanjian tersebut, Belanda mulai melakukan inventarisasi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang.

Hingga masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Sintang tetap berdiri sampai tahun 1966 berubah menjadi Daerah Tingkat II (Kabupaten Sintang di Provinsi Kalimantan Barat). Sumbangan terbesar dari Kesultanan Sintang bagi negara Indonesia adalah digunakannya Lambang Kesultanan SIntang sebagai inspirasi terciptanya Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Republik Indonesia.

Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menjalin hubungan dengan Borneo di awal Abad ke-16. Belanda tiba dengan kapal East Indische Coopagnie (VOC) sekitar tahun 1600. Mereka datang sebagai saudagar. Mereka menjalin hubungan dengan Banjermasin (1609) dan Pontianak (1778) tetapi hubungan ini tidak memberikan keuntungan banyak bagi Belanda. Belanda tertarik kembali menjali hubungan dengan Borneo setelah adanya masa peralihan pemerintahan Inggris (1811-1816). Pembajakan merajalela di pulau tersebut, sehingga Belanda harus membangun kekuatan untuk menghentikan gangguan terhadap kegiatan perdagangan mereka. Alasan resmi yang digunakan Belanda pada saat itu ialah untuk membebaskan orang Dayak dari penindasan.

Belanda pertama kali datang ke Sintang pada bulan Februari 1822. Sebuah misi dengan komisaris J. Tobias, C. Hartmann dan E. Franciss menyusuri Sungai Kapuas memasuki daerah-daerah pedalaman. Misi pertama ini bertujuan untuk “menginspeksi” berbagai kerajaan di sepanjang Kapuas dan untuk berkenalan dengan penguasa-penguasa setempat. Raja di Sintang, speerti halnya Raja Sekadau dan Sanggau, tidak tertarik dengan misi delegasi Belanda tersebut, sehingga menimbulkan ketidak senangan J. Tobias. Kemudian J. Tobias mengutus D.J von den Dungen Grovonius ke berbagai kerajaan di Kapuas untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Laporan perjalanan ini menjadi sumber kepustakaan yang sangat penting tentang situasi di Sintang pada awal Abad ke-19. Selain mencari indormasi, Grovonius juga mengadakan perjanjian dengan penguasa setempat. Pada saat itu penguasa Sintang, Sultan Atjep Muhammad
Jamaluddin baru saja meninggal, sehingga perjanjian pertama dibuat antara Gronovius dengan pemimpin anggota keluarga dari pihak kerajaan. Perjanjian ini dibuat dalam suasana permusuhan dan intimidasi. Dengan adanya penandatanganan perjanjian ini, Sintang mengakui bahwa Belanda menjadi pemimpin mereka. Selanjutnya, berbagai konflik diatasi oleh Residen Borneo Barat an mereka dilarang menjalin hubungan dengan penguasa lain. Sebagai imbalannya, Sintang mendapat perlindungan dari Belanda. Maksud perjanjian tersebut adalah untuk membangun kekuasaan Belanda dan menciptakan situasi menguntungkan dalam bidang perdagangan.

Walaupun demikian, Belanda tidak yakin dengan perjanjian tersebut. Pada tahun 1823, Ketua Komisi C.L. Hartmann membentuk sebuah resimen beranggotakan enpat puluh tentara dan mula membangun benteng. De Sturler menjadi komandan pos ini. perjanjian 1822 juga diperbarui dan tanpa batas waktu. Namun, Sintang belum memiliki pemimpin yang baru. Para pemimpin keluarga kerajaan memilih Abang Sinkel sebagai raja baru tapi Hartmann tidak mempercayai pangeran ini. Beliau mengatur bahwa Abang Sinkel boleh menjadi raja di Sintang tetapi yang menjalankan kekuasaan kerajaan adalah pamannya, yaitu Ade Djun. Ade Djun mendapat gelar Pangeran Ratoe Kesoema Negara.

De Sturler mendapatkan kesulitan di Sintang. Benteng dalam keadaan memprihatinkan, begitu juga dengan pasukan tentaranya. Dia tidak memiliki kekuasaan untuk menghentikan tradisi pemenggalan kepala dan untuk mengakhiri konflik antara Sintang dengan daerah-daerah di sekitarnya. Dia meninggalkan benteng tanpa ijin tahun 1825. Akhirnya benteng diabaikan begitu saja pada tahun 1827. Kemudian benteng tersebut dibakar pada tahun 1830 oleh Pangeran Koening, saudara Pangeran Ratoe. Karena Belanda harus menghadapi perang yang dinamakan Perang Jawa (1825-1830) maka investasi di Borneo berakhir. Tidak ada uang maka tidak ada penjajahan dan Sintang dibiarkan bebas selama 30 tahun.


Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbkaltim/istana-al-mukaromah-kesultanan-kota–sintang/